PEREKONOMIAN INDONESIA
Pendahuluan
Pada dasarnya sistem ekonomi dari setiap
masing-masing negara berbeda-beda, kenapa berbeda karena ideologi dan falsafat
masing-masing negara yang berbeda. Seperti contohnya Indonesia, sistem ekonomi
yang dianut di Indonesia tentu saja berbeda dengan Negara-negara lainnya. Pada
awalnya sistem yang dianut Indonesia yaitu sistem ekonomi liberal, dimana
seluruh kegiatan ekonomi diserahkan oleh masyarakat. Akan tetapi karena adanya
pengaruh besar komunisme dari partai komunis Indonesia, maka sisitem ekonomi
Indonesia berubah dari sistem ekonomi liberal menjadi sistem ekonomi sosialis.
PEREKONOMIAN INDONESIA
Perekonomian Indonesia dinilai sulit bersaing secara global
lantaran rakyatnya kurang mampu memberikan nilai tambah saat menjalankan usaha.
Indonesia tidak mampu melayani orang dengan nilai tambah yang baik dalam
perekonomian.
Dunia usaha membutuhkan kreativitas, inovasi, dan persaingan
sebagai bagian dari dinamika usaha. Dasar persaingan dalam dunia usaha adalah
membuat usaha lebih baik, menghasilkan usaha yang lebih murah, dan lebih cepat.
Seperti halnya mobil produksi Jepang lebih laku terjual di pasaran ketimbang
mobil produk Amerika Serikat karena kualitas produknya baik, murah, dan
layanannya lebih cepat.
Kemakmuran suatu Negara tergantung pada kemampuan menambah
nilai suatu usaha. Selain kurang mampu bersaing secara global, Indonesia juga
belum mampu memberikan pelayanan yang baik terhadap konsumen. “Sense of
services kurang mendapatkan tempat di Indonesia sehingga belum mampu memberikan
nilai tambah yang baik.” Untuk mencapai kemakmuran masyarakat, diperlukan usaha
yang inovatif supaya mampu bersaing.
Masyarakat memegang aktif dalam kegiatan ekonomi, sedangkan
pemerintah menciptakan iklim yang sehat bagi pertumbuhan dan perkembangan dunia
usaha.
Usaha skala kecil di Indonesia adalah merupakan subyek
diskusi dan menjadi perhatian pemerintah karena perusahaan kecil tersebut menyebar dimana-mana, dan dapat memberi
kesempatan kerja yang potensial. Para ahli ekonomi sudah lama menyadari bahwa sector
industry kecil sebagai salah satu karakteristik keberhasilan dan pertumbuhan
ekonomi.
Perekonomian Indonesia juga masih dihadapkan pada sejumlah
tantangan utama yang terdiri dari derasnya aliran masuk modal asing, besarnya
ekses likuidiytas perbankan, inflasi yang meningkat, serta sejumlah
permasalahan di sector perbankan dan berbagai kendala di sector riil. Berbagai
tantangan tersebut menyebabkan Bank Indonesia menghadapi trilema yaitu, menjaga
stabilitas harga, stabilitas nilai tukar, dan stabilitas system keuangan. Oleh
karena itu, mengandalkan satu instrument kebijakan saja tidak cukup sehingga
diperlukan suatu bauran kebijakan yaitu bauran kebijakan untuk stabilitas
internal maupun bauran kebijakan untuk stabilitas eksternal. Bauran kebijakan
untuk stabilitas internal ditujukan untuk stabulitas harga dan pengelolaaan
permintaan domestic, sedangkan bauran instrument untuk stabilitas eksternal
ditujukan untuk pengelolaan aliran masuk modal asing dan stabilitas nilai
tukar.
Kinerja perekonomian Indonesia diperkirakan terus membaik.
Tahun 2011, petumbuhan ekonomi diperkirakan meningkat, surplus neaca pembayaran
masih besar, peran intermediasi perbankan membaik, dan inflasi dapat diarahkan
pada kisaran sasarannya. Dalam jagka menengah, petumbuhan ekonomi diperkirakan
juga terus meningkat dengan inflasi yang semakin rendah.
Sistem Ekonomi Kapitalis, Sosialis, dan
Campuran
Sistem Ekonomi yang esktrim:
(a) Sistem ekonomi kapitalis
• Pengakuan terhadap kepemilikan individu terhadap
sumber ekonomi
• Kompetisi antar individu dalam memenihi kebutuhan hidup dan persaingan antar
badan usaha untuk mengejar keuntungan
• Tidak batasan bagi individu dalam menerima imbalan atas prestasi kerjanya
• Campur tangan pemerintah sangat minim
• Mekanisme pasar akan menyelesaikan persoalan ekonomi
• USA
(b) Sistem ekonomi sosialis
• Kepemilikan oleh negara terhadap sumber ekonomi
• Penekanan terhadap kebersamaan dalam menjalankan dan memajukan perekonomian
• Imbalan yang diterima oleh individu berdasarkan kebutuhan, bukan prestasi
kerja
• Campur tangan pemerintah sangat tinggi
• Persoalan ekonomi harus dikendalikan oleh pemerintah pusat
• USSR
(c) Sistem ekonomi campuran
• Kepemilikan oleh individu terhadap sumber ekonomi
diakui negara
• Kompetisi antar individu dalam memenihi kebutuhan hidup dan persaingan antar
badan usaha untuk mengejar keuntungan
• Imbalan yang diterima oleh individu berdasarkan kebutuhan, bukan prestasi
kerja
• Campur tangan pemerintah hanya untuk bidang tertentu seperti bidang yang
diperlukan oleh seluruh masyarakat (listrik dan air)
• Mekanisme pasar akan menyelesaikan persoalan ekonomi dengan beberapa hal
perlu adanya campur tangan pemerintah
Indonesia terletak di posisi geografis antara benua
Asia dan Eropa serta samudera Pasifik dan Hindia, sebuah posisi yang strategis
dalam jalur pelayaran niaga antar benua. Salah satu jalan sutra, yaitu jalur
sutra laut, ialah dari Tiongkok dan Indonesia, melalui selat Malaka ke India.
Dari sini ada yang ke teluk Persia, melalui Suriah ke laut Tengah, ada yang ke
laut Merah melalui Mesir dan sampai juga ke laut Tengah (Van Leur). Perdagangan
laut antara India, Tiongkok, dan Indonesia dimulai pada abad pertama sesudah
masehi, demikian juga hubungan Indonesia dengan daerah-daerah di Barat
(kekaisaran Romawi).
Penggunaan uang yang berupa koin emas dan koin
perak sudah dikenal di masa itu, namun pemakaian uang baru mulai dikenal di
masa kerajaan-kerajaan Islam, misalnya picis yang terbuat dari timah di
Cirebon. Namun penggunaan uang masih terbatas, karena perdagangan barter banyak
berlangsung dalam sistem perdagangan Internasional. Karenanya, tidak terjadi
surplus atau defisit yang harus diimbangi dengan ekspor atau impor logam mulia.
Setelah masa kerajaan-kerajaan Islam, pembabakan perjalanan perekonomian
Indonesia dapat dibagi dalam empat masa, yaitu masa sebelum kemerdekaan, orde
lama, orde baru, dan masa reformasi.
I. SEBELUM KEMERDEKAAN
Sebelum merdeka, Indonesia mengalami masa
penjajahan yang terbagi dalam beberapa periode. Ada empat negara yang pernah
menduduki Indonesia, yaitu Portugis, Belanda,Inggris, dan Jepang. Portugis
tidak meninggalkan jejak yang mendalam di Indonesia karena keburu diusir oleh
Belanda, tapi Belanda yang kemudian berkuasa selama sekitar 350 tahun, sudah
menerapkan berbagai sistem yang masih tersisa hingga kini.
VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) adalah
sebuah perusahaan yang didirikan dengan tujuan untuk menghindari persaingan
antar sesama pedagang Belanda, sekaligus untuk menyaingi perusahaan imperialis
lain seperti EIC (Inggris). VOC diberi hak Octroi, yang antara lain meliputi :
a. Hak mencetak uang
b. Hak mengangkat dan memberhentikan pegawai
c. Hak menyatakan perang dan damai
d. Hak untuk membuat angkatan bersenjata sendiri
e. Hak untuk membuat perjanjian dengan raja-raja.
Hak-hak itu seakan melegalkan keberadaan VOC
sebagai “penguasa” Hindia Belanda. Namun walau demikian, tidak berarti bahwa
seluruh ekonomi Nusantara telah dikuasai VOC.
Faktanya, sejak tahun 1620, VOC hanya menguasai
komoditi-komoditi ekspor sesuai permintaan pasar di Eropa, yaitu rempah-rempah.
Kota-kota dagang dan jalur-jalur pelayaran yang dikuasainya adalah untuk
menjamin monopoli atas komoditi itu. VOC juga belum membangun sistem pasokan
kebutuhan-kebutuhan hidup penduduk pribumi. Peraturan-peraturan yang ditetapkan
VOC seperti verplichte leverentie (kewajiban meyerahkan hasil bumi pada VOC )
dan contingenten (pajak hasil bumi) dirancang untuk mendukung monopoli itu.
Selain itu, VOC juga menjaga agar harga rempah-rempah tetap tinggi, dengan cara
diadakannya pembatasan jumlah tanaman rempah-rempah yang boleh ditanam
penduduk, pelayaran Hongi dan hak extirpatie (pemusnahan tanaman yang jumlahnya
melebihi peraturan). Semua aturan itu pada umumnya hanya diterapkan di Maluku yang
memang sudah diisolasi oleh VOC dari pola pelayaran niaga samudera Hindia.
Pada tahun 1795, VOC bubar karena dianggap gagal
dalam mengeksplorasi kekayaan Hindia Belanda. Kegagalan itu nampak pada
defisitnya kas VOC, yang antara lain disebabkan oleh :
1. Peperangan yang terus-menerus dilakukan oleh VOC
dan memakan biaya besar, terutama perang Diponegoro
2. Penggunaan tentara sewaan membutuhkan biaya besar
3. Korupsi yang dilakukan pegawai VOC sendiri dan (d) Pembagian dividen kepada
para pemegang saham, walaupun kas deficit.
Maka, VOC digantikan oleh republik Bataaf
(Bataafsche Republiek). Republik Bataaf dihadapkan pada suatu sistem keuangan
yang kacau balau. Selain karena peperangan sedang berkecamuk di Eropa
(Continental stelstel oleh Napoleon), kebobrokan bidang moneter sudah mencapai
puncaknya sebagai akibat ketergantungan akan impor perak dari Belanda di masa
VOC yang kini terhambat oleh blokade Inggris di Eropa. Sebelum republik Bataaf
mulai berbenah, Inggris mengambil alih pemerintahan di Hindia Belanda.
Cultuurstelstel
Cultuurstelstel (sistem tanam paksa) mulai
diberlakukan pada tahun 1836 yang diprakarsai oleh Van Den Bosch. Dengan tujuan
untuk memproduksi berbagai komoditi yang ada permintaannya di pasaran dunia.
Sejak saat itu, diperintahkan pembudidayaan produk-produk selain kopi dan
rempah-rempah, yaitu gula, nila, tembakau, teh, kina, karet, kelapa sawit, dll.
Sistem ini jelas menekan penduduk pribumi, tapi amat menguntungkan bagi
Belanda, apalagi dipadukan dengan sistem konsinyasi (monopoli ekspor). Setelah
penerapan kedua sistem ini, seluruh kerugian akibat perang dengan Napoleon di
Belanda langsung tergantikan berkali lipat.
Jelasnya, dengan menerapkan cultuurstelstel,
pemerintah Belanda membuktikan teori sewa tanah dari mazhab klasik, yaitu bahwa
sewa tanah timbul dari keterbatasan kesuburan tanah. Namun disini, pemerintah
Belanda hanya menerima sewanya saja, tanpa perlu mengeluarkan biaya untuk
menggarap tanah yang kian lama kian besar. Biaya yang kian besar itu
meningkatkan penderitaan rakyat, sesuai teori nilai lebih (Karl Marx), bahwa
nilai leih ini meningkatkan kesejahteraan Belanda sebagai kapitalis.
Sistem Ekonomi Pintu Terbuka (Liberal)
Adanya desakan dari kaum Humanis Belanda yang
menginginkan perubahan nasib warga pribumi ke arah yang lebih baik, mendorong
pemerintah Hindia Belanda untuk mengubah kebijakan ekonominya. Dibuatlah
peraturan-peraturan agraria yang baru, yang antara lain mengatur tentang
penyewaan tanah pada pihak swasta untuk jangka 75 tahun, dan aturan tentang
tanah yang boleh disewakan dan yang tidak boleh. Hal ini nampaknya juga masih
tak lepas dari teori-teori mazhab klasik, antara lain terlihat pada :
a. Keberadaan pemerintah Hindia Belanda sebagai
tuan tanah, pihak swasta yang mengelola perkebunan swasta sebagai golongan
kapitalis, dan masyarakat pribumi sebagai buruh penggarap tanah.
b. Prinsip keuntungan absolut : Bila di suatu tempat harga barang berada diatas
ongkos tenaga kerja yang dibutuhkan, maka pengusaha memperoleh laba yang besar
dan mendorong mengalirnya faktor produksi ke tempat tersebut.
c.Laissez faire laissez passer, perekonomian diserahkan pada pihak swasta,
walau jelas, pemerintah Belanda masih memegang peran yang besar sebagai
penjajah yang sesungguhnya.
Pada akhirnya, sistem ini bukannya meningkatkan
kesejahteraan masyarakat pribumi, tapi malah menambah penderitaan, terutama
bagi para kuli kontrak yang pada umumnya tidak diperlakukan layak.
Pendudukan Jepang (1942-1945)
Pemerintah militer Jepang menerapkan suatu
kebijakan pengerahan sumber daya ekonomi mendukung gerak maju pasukan Jepang
dalam perang Pasifik. Akibatnya, terjadi perombakan besar-besaran dalam
struktur ekonomi masyarakat. Kesejahteraan rakyat merosot tajam dan terjadi
bencana kekurangan pangan, karena produksi bahan makanan untuk memasok pasukan
militer dan produksi minyak jarak untuk pelumas pesawat tempur menempati
prioritas utama. Impor dan ekspor macet, sehingga terjadi kelangkaan tekstil
yang sebelumnya didapat dengan jalan impor.
Seperti ini lah sistem sosialis ala bala tentara Dai
Nippon. Segala hal diatur oleh pusat guna mencapai kesejahteraan bersama yang
diharapkan akan tercapai seusai memenangkan perang Pasifik.
1. PEMERINTAHAN ORDE LAMA
-Orde lama (Demokrasi Terpimpin)
Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain
disebabkan oleh :
a. Inflasi yang sangat tinggi, disebabkan karena
beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu,
untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di
wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia
Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang. Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946,
Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu)
mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada
bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI
(Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori
moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi kenaikan tingkat
harga.
b. Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup
pintu perdagangan luar negeri RI.
c. Kas negara kosong.
d. Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi
kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain :
a.Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh
menteri keuangan Ir. Surachman dengan persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan
Juli 1946.
b.Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India, mangadakan kontak
dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera
dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
c.Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan
yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu :
masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan
administrasi perkebunan-perkebunan.
d.Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947
Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948, mengalihkan tenaga
bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
e.Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa
petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan
perekonomian akan membaik (mengikuti Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian
merupakan sumber kekayaan).
- Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)
Masa ini disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem ekonominya
menggunakan prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai
teori-teori mazhab klasik yang menyatakan laissez faire laissez passer. Padahal
pengusaha pribumi masih lemah dan belum bisa bersaing dengan pengusaha
nonpribumi, terutama pengusaha Cina. Pada akhirnya sistem ini hanya memperburuk
kondisi perekonomian Indonesia yang baru merdeka.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah
ekonomi, antara lain :
a) Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950,
untuk mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.
b) Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menumbuhkan wiraswastawan
pribumi dan mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan
impor asing dengan membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi
impornya hanya pada importir pribumi serta memberikan kredit pada
perusahaan-perusahaan pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi dalam
perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal, karena sifat pengusaha
pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing dengan pengusaha non-pribumi.
c) Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951
lewat UU no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.
d) Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr
Iskak Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina dan
pengusaha pribumi. Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan
pada pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi
usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak berjalan dengan baik, karena
pengusaha pribumi kurang berpengalaman, sehingga hanya dijadikan alat untuk
mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
e) Pembatalan sepihak atas hasil-hasil Konferensi Meja Bundar, termasuk
pembubaran Uni Indonesia-Belanda. Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang
menjual perusahaannya sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa
mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut.
- Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967)
Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan
sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem
etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan
akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik,dan
ekonomi (mengikuti Mazhab Sosialisme). Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi
yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi
Indonesia, antara lain :
a) Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai
berikut :Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000
menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank yang melebihi 25.000 dibekukan.
b) Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis
Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan
stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga
barang-baranga naik 400%.
c) Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp
1000 menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat
uang rupiah lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali
lipat lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini
malah meningkatkan angka inflasi.
Kegagalan-kegagalan dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah karena
pemerintah tidak menghemat pengeluaran-pengeluarannya. Pada masa ini banyak
proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan pemerintah, dan juga sebagai akibat
politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat. Sekali lagi, ini
juga salah satu konsekuensi dari pilihan menggunakan sistem demokrasi terpimpin
yang bisa diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam
politik, eonomi, maupun bidang-bidang lain.
2. PEMERINTAHAN ORDE BARU
Orde Baru/ Orba (Demokrasi Pancasila)
Pada masa orde baru, pemerintah menjalankan kebijakan yang tidak mengalami
perubahan terlalu signifikan selama 32 tahun. Dikarenakan pada masa itu
pemerintah
sukses menghadirkan suatu stablilitas politik sehingga mendukung terjadinya
stabilitas ekonomi. Karena hal itulah maka pemerintah jarang sekali melakukan
perubahan-perubahan kebijakan terutama dalam hal anggaran negara.
Pada masa pemerintahan orde baru, kebijakan ekonominya berorientasi kepada
pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ekonomi tersebut didukung oleh kestabilan
politik yang dijalankan oleh pemerintah. Hal tersebut dituangkan ke dalam
jargon kebijakan ekonomi yang disebut dengan Trilogi Pembangungan, yaitu
stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi yang stabil, dan pemerataan
pembangunan.
Hal ini berhasil karena selama lebih dari 30 tahun, pemerintahan mengalami
stabilitas politik sehingga menunjang stabilitas ekonomi. Kebijakan-kebijakan
ekonomi pada masa itu dituangkan pada Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (RAPBN), yang pada akhirnya selalu disetujui oleh Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) untuk disahkan menjadi APBN.
APBN pada masa pemerintahan Orde Baru, disusun berdasarkan asumsi-asumsi
perhitungan dasar. Yaitu laju pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, harga
ekspor minyak mentah Indonesia, serta nilai tukar rupiah terhadap dollar
Amerika. Asumsi-asumsi dasar tersebut dijadikan sebagai ukuran fundamental
ekonomi nasional. Padahal sesungguhnya, fundamental ekonomi nasional tidak
didasarkan pada perhitungan hal-hal makro. Akan tetapi, lebih kearah yang
bersifat mikro-ekonomi. Misalnya, masalah-masalah dalam dunia usaha, tingkat
resiko yang tinggi, hingga penerapan dunia swasta dan BUMN yang baik dan
bersih. Oleh karena itu pemerintah selalu dihadapkan pada kritikan yang
menyatakan bahwa penetapan asumsi APBN tersebut tidaklah realistis sesuai
keadaan yang terjadi.
Format APBN pada masa Orde baru dibedakan dalam penerimaan dan pengeluaran.
Penerimaan terdiri dari penerimaan rutin dan penerimaan pembangunan serta
pengeluaran terdiri dari pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan.
Sirkulasi anggaran dimulai pada 1 April dan berakhir pada 31 Maret tahun
berikutnya. Kebijakan yang disebut tahun fiskal ini diterapkan seseuai dengan
masa panen petani, sehingga menimbulkan kesan bahwa kebijakan ekonomi nasional
memperhatikan petani.
APBN pada masa itu diberlakukan atas dasar kebijakan prinsip berimbang, yaitu
anggaran penerimaan yang disesuaikan dengan anggaran pengeluaran sehingga
terdapat jumlah yang sama antara penerimaan dan pengeluaran. Hal perimbangan
tersebut sebetulnya sangat tidak mungkin, karena pada masa itu pinjaman luar
negeri selalu mengalir. Pinjaman-pinjaman luar negeri inilah yang digunakan
pemerintah untuk menutup anggaran yang defisit.
Ini artinya pinjaman-pinjaman luar negeri tersebut ditempatkan pada anggaran
penerimaan. Padahal seharusnya pinjaman-pinjaman tersebut adalah utang yang
harus dikembalikan, dan merupakan beban pengeluaran di masa yang akan datang.
Oleh karena itu, pada dasarnya APBN pada masa itu selalu mengalami defisit
anggaran.
Penerapan kebijakan tersebut menimbulkan banyak kritik, karena anggaran defisit
negara ditutup dengan pinjaman luar negeri. Padahal, konsep yang benar adalah
pengeluaran pemerintah dapat ditutup dengan penerimaan pajak dalam negeri.
Sehingga antara penerimaan dan pengeluaran dapat berimbang. Permasalahannya,
pada masa itu penerimaan pajak saat minim sehingga tidak dapat menutup defisit
anggaran.
Namun prinsip berimbang ini merupakan kunci sukses pemerintah pada masa itu
untuk mempertahankan stabilitas, khususnya di bidang ekonomi. Karena pemerintah
dapat menghindari terjadinya inflasi, yang sumber pokoknya karena terjadi
anggaran yang defisit. Sehingga pembangunanpun terus dapat berjalan.
Prinsip lain yang diterapkan pemerintah Orde Baru adalah prinsip fungsional.
Prinsip ini merupakan pengaturan atas fungsi anggaran pembangunan dimana
pinjaman luar negeri hanya digunakan untuk membiayai anggaran belanja
pembangunan. Karena menurut pemerintah, pembangunan memerlukan dana investasi
yang besar dan tidak dapat seluruhnya dibiayai oleh sumber dana dalam negeri.
Pada dasarnya kebijakan ini sangat bagus, karena pinjaman yang digunakan akan
membuahkan hasil yang nyata. Akan tetapi, dalam APBN tiap tahunnya cantuman
angka pinjaman luar negeri selalu meningkat. Hal ini bertentangan dengan
keinginan pemerintah untuk selalu meningkatkan penerimaan dalam negeri. Dalam
Keterangan Pemerintah tentang RAPBN tahun 1977, Presiden menyatakan bahwa
dana-dana pembiayaan yang bersumber dari dalam negeri harus meningkat. Padahal,
ketergantungan yang besar terhadap pinjaman luar negeri akan menimbulkan
akibat-akibat. Diantaranya akan menyebabkan berkurangnya pertumbuhan ekonomi.
Hal lain yang dapat terjadi adalah pemerataan ekonomi tidak akan terwujud.
Sehingga yang terjadi hanya perbedaan penghasilan. Selain itu pinjaman luar
negeri yang banyak akan menimbulkan resiko kebocoran, korupsi, dan
penyalahgunaan. Dan lebih parahnya lagi ketergantungan tersebut akan
menyebabkan negara menjadi malas untuk berusaha meningkatkan penerimaan dalam
negeri.
Prinsip ketiga yang diterapakan oleh pemerintahan Orde Baru dalam APBN adalah,
dinamis yang berarti peningkatan tabungan pemerintah untuk membiayai
pembangunan. Dalam hal ini pemerintah akan berupaya untuk mendapatkan kelebihan
pendapatan yang telah dikurangi dengan pengeluaran rutin, agar dapat dijadikan
tabungan pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah dapat memanfaatkan tabungan
tersebut untuk berinvestasi dalam pembangunan.
Kebijakan pemerintah ini dilakukan dengan dua cara, yaitu derelgulasi perbankan
dan reformasi perpajakan. Akan tetapi, kebijakan demikian membutuhkan waktu dan
proses yang cukup lama. Akibatnya, kebijakan untuk mengurangi bantuan luar
negeri tidak dapat terjadi karena jumlah pinjaman luar negeri terus meningkat.
Padahal disaat yang bersamaan persentase pengeluaran rutin untuk membayar
pinjaman luar negeri terus meningkat. Hal ini jelas menggambarkan betapa APBN
pada masa pemerintahan Orde Baru sangat bergantung pada pinjaman luar negeri.
Sehingga pada akhirnya berakibat tidak dapat terpenuhinya keinginan pemerintah
untuk meningkatkan tabungannya.
3. ORDE REFORMASI
Pemerintahan presiden BJ.Habibie yang mengawali
masa reformasi belum melakukan manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang
ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk mengendalikan stabilitas
politik. Pada masa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun, belum ada
tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan.
Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan orde baru harus
dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), pemulihan
ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah.
Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya di
mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh presiden Megawati.
a. Masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri
Masalah-masalah yang mendesak untuk dipecahkan
adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh
untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi antara lain :
A ) Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$
5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang
luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
B ) Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di
dalam periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi
kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu
berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan
ini memicu banyak kontroversi, karena
BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.
Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK
(Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam
pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak investor
berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya
pembangunan nasional.
b. Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono
Kebijakan kontroversial pertama presiden Yudhoyono
adalah mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM.
Kebijakan ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran
subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang
yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua,
yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak
sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah
sosial.
Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan
pendapatan perkapita adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji
memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian
Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para
investor dengan kepala-kepala daerah.